Kim Ji-Young: Born 1982, Cerminan Budaya Patriarki di Korea Selatan
(Sumber: IMDb)
Ketika mendengar “Korea Selatan”, apakah bayangan yang ada di kepala kamu itu Kpop grup, Kdrama, atau keduanya? Kalau iya, kita sama!
Industri musik dan perfilman Korea Selatan memang sudah nggak asing bagi banyak orang. Bahkan, kedua industri ini mempunyai basis penggemar yang kuat di Indonesia.
Karena dua industri ini, banyak sekali hal yang berbau Korea yang masuk ke Indonesia. Makanan, trend berpakaian, cara berbicara, dan masih banyak lagi. Banyak orang yang begitu mengagumi Korea bahkan sampai menyempatkan waktu untuk mempelajari kebudayaan dan bahasanya.
Tapi, belum banyak yang tau kalau Korea termasuk negara yang masih konservatif.
Meski punya teknologi yang canggih serta industri dan perekonomian yang maju, Korea masih memegang teguh norma dan nilai sosial mereka. Salah satu nilai yang masih masyarakat Korea pegang adalah nilai-nilai patriarki.
Ini artinya masyarakat Korea lebih menganakemaskan laki-laki ketimbang perempuan dibanyak aspek kehidupan. Contoh nyatanya bisa dilihat di film keluaran tahun 2019 berjudul Kim Ji-Young: Born 1982.
Kim Ji-Young: Born 1982 bercerita tentang seorang ibu rumah tangga bernama Ji-Young. Ji-Young digambarkan mengalami depresi pasca melahirkan. Ternyata, sumber kesedihan dan kecemasannya nggak cuma berasal dari isu hormonal lho. Tekanan budaya patriarki juga mengambil peran penting. Film ini menunjukan susahnya menjadi perempuan di Korea dihampir setiap jenjang usia, baik melalui kisah Ji-Young atau orang sekelilingnya.
Nggak banyak yang diperlihatkan dari masa kecil Ji-Young dan struggle-nya sebagai perempuan Korea di usia kanak-kanak. Dari sedikit penggambaran yang ada, scene dimana Ji-Young diberi tau kalau perempuan harus anggun dan harus membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah adalah salah satu contohnya. Bisa dibilang budaya ini mempersiapkan perempuan Korea untuk kelak menjadi “perempuan” yang baik menurut definisi mereka.
Saat menginjak usia remaja, Ji-Young pernah diikuti oleh remaja laki-laki ketika pulang cukup larut. Meski Ji-Young hampir mengalami hal buruk, respon ayahnya agak kurang mengenakan. Beliau memang khawatir, tapi malah menyalahkan Ji-Young karena sikap dan cara berpakaiannya mungkin sudah mengundang remaja tadi untuk berbuat jahat. Ketimbang menyalahkan seorang laki-laki karena niat jahatnya, ayah Ji-Young malah menyalahkan Ji-Young atas apa yang nyaris terjadi padanya.
Fast forward ke masa dewasa Ji-Young, tepatnya waktu Ji-Young bekerja di sebuah perusahaan marketing. Ji-Young bisa dibilang pegawai yang punya performa bagus, bahkan atasannya puas dengan kinerja Ji-Young. Sayangnya, Ji-Young adalah perempuan. Sebagus apapun dia, perusahaan nggak akan memilih dia untuk proyek jangka panjang mereka.
Jangankan Ji-Young yang hanya karyawan biasa, atasannya yang sudah banyak berkontribusi untuk perusahaan nggak bisa naik jabatan karena beliau ini perempuan. Beliau ini bahkan sampai dipermalukan karena lebih memilih karirnya ketimbang mengasuh anaknya. Padahal, pengorbananya yang besar dan kecintaan beliau pada pekerjaannya itu yang membuat perusahaan tersebut bertahan dan menjadi lebih baik.
Film ini juga menunjukan bagaimana standar ganda yang bahkan dimiliki oleh para perempuan. Ibu mertua Ji-Young contohnya. Beliau marah besar begitu mengetahui putranya akan cuti karena menantunya ingin kembali bekerja. Katanya, Ji-Young ini egois dan akan menghancurkan karir putranya. Padahal, Ji-Young juga memiliki karir yang bagus sebelumnya. Dia mengalah agar bisa mengururs putri sematawayangnya. Dimata ibu mertuanya, merelakan karir adalah sebuah keharusan bagi Ji-Young.
Masih banyak part dalam film ini yang menunjukkan apa-apa saja yang perempuan Korea harus hadapi di tengah masyarakat yang misoginis. Kamu bisa liat langsung struggle-nya Ji-Young dan perempuan disekelilingnya di Viu atau platform lainnya!
Komentar
Posting Komentar